Aturan - Aturan dalam Pemberian Ulos
Seperti telah kita terangkan terdahulu, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara Adat Batak. Tidak mungkin kita berbicara mengenai Adat Batak tanpa membicarakan ulos. Ulos, hiou, olis, abit godang atu uis kesemuanya adalah merupakan identitas orang Batak.
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak Hula-hula lah yang memberikan kepada parboru (dalam perkawinan). Sedangkan di wilayah Pakpak/Dairi dan Tapanuli Selatan pihak borulah yang memberikan ulos ke pada mora atau kula kula. Perbedaan spesifik ini bukanlah berarti mengurangi nilai dan makna suatu ulos dalam upacara adat. Di wilayah Toba misalnya yang berhak memberikan ulos ialah:
- Pihak Hula Hula (Mertua, Tulang, Bona Tulang, Bona ni ari dan Tulang rorobot).
- Pihak Dongan Tubu (Ayah, Saudara ayah, Kakek dan saudara pengantin dalam kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).
- Pihak pariban (dalam urutan lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).
Adapun mengenai ale-ale (teman sejawat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah di luar tohonan Dalihan Natolu. Pemberian ale-ale sebaiknya benda apapun itu, diberikan dalam bentuk kado (dibungkus).
Dari uraian di atas jelas kelihatan bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (dalam urutan kekeluargaan) dari si penerima ulos. Dalam pesta kawin misalnya tata urutan pemberian uadalah sebagai berikut:
- Mula mula yang memberikan ulos adalah orangtua pengantin perempuan.
- Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan, termasuk tulang rorobot.
- Kemudian menyusul pihak dongan sabutuha dari orangtua pengantin perempuan yang dalam hal ini disebut paidua (pamarai).
- Kemudian disusul oleh pariban yaitu boru hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
- Baru yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari par anak, dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak par boru dan 1/3 dari par anak.
Bagian ini disampaikan oleh orangtua pengantin perempuan kepada Tulang si anak (pengantin laki-laki) Inilah yang disebut “tintin marangkup”.
TATA CARA PEMBERIAN ULOS
Menurut tata cara Adat Batak setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos dari mulai lahir sampai akhir hayatnya. Ulos inilah yang disebut ulos na marsintuhu yang dapat digolongkan sebagai ulos ni tondi, menurut falsafah Dalihan Natolu.
Ketiganya ialah:
- Yang pertama diterima sewaktu dia baru lahir. Sekarang ini dikenal dengan ulos parompa. Dahulu dikenal dengan ulos mangalo alo tondi.
- Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (perkawinan) yang diterima dalam bentuk ulos hela. Dahulu disebut ulos marjabu bagi kedua pengantin (laki dan perempuan).
- Yang ketiga adalah ulos yang diterimanya sewaktu dia meninggalkan dunia yang fana (ulos saput). Kedudukan seorang yang meninggal menentukan jenis ulos yang diterimanya sebagai saput, tergantung pada saat mana dia neninggal.
Bila seorang meninggal dalam usia yang masih muda atau meninggal tanpa meninggalkan keturunan (mate hadiaranna) maka kepadanya diberikan ulos yang disebut “ulos par olang-olangan”.
Bila dia meninggal dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil-kecil (sapsap mardum), bila laki-laki di sebut “matipul ulu”, bila perempuan disebut “marompas tataring” maka kepadanya diberi ulos saput.
Bila dia meninggal sari/saur matua maka dia mendapat “ulos panggabei” yang diterima dari semua hula-hula baik hula-hulanya sendiri, hula-hula ni anak, maupun hula-hula cucunya. Biasanya ulos panggabei ini diterima oleh seluruh turunannya. Pada saat seperti inilah berjalan ulos “JUGIA”. Sebagai catatan : maka sesuai dengan namanya “Ulos na so ra pipot” Jugia hanya dapat diberikan kepada orang tua yang turunannya belum ada yang meninggal (martilahu matua).
I. PADA WAKTU ANAK LAHIR
Bila anak lahir, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, apakah anak yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua, apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga.
Pada punt pertama, bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping si anak, hanyalah orang tuanya saja (mar amani…).
Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar di samping si anak, juga ayah dan kakeknya (mar ama ni … dan Ompuni…).
Perlu diperhatikan pada gelar Ompu…Bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan si… maka gelar diperoleh itu diperoleh dari anak sulung perempuan (Ompung Bao).
Sedang bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar Ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung suhut).
Untuk punt pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan 2 buah ulos yaitu ulos parompa untuk si anak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk si anak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri suri ganjang atau sito luntuho.
Untuk punt kedua hula hula harus menyediakan ulos sebanyak 3 buah, yaitu ulos parompa untuk anak, ulos par gomgom untuk ayah dan ulos bulang bulang untuk ompungnya. Seiring dengan pemberian ulos kata kata ini sering diucapkan sbb:
“Ucok (Tatap). Sadarion nunga pinuka goarmu. Sai anggiat ma goar mi goar marsarak, goar na mura jou jou on, hipas hipas ho mamboan. Dison pasahaton nami ma tu ho ulos pangiring, asa mangiring anak dohot boru ho sian on tu joloan on. Horas ma”.
Catatan: Bila acara mampe goar ulos yang diberikan harus dari jenis Bintang Maratur. Tapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh ulos mangiring.
Di hamu hela/boru nami. Mulai sadari on marbonsir naung pinungka goar ni buha baju muna, sadarion mulai mampe goar hamu mar amani dohot mar ina ni….Dison pasahaton nami ma tu hamu ulos suri suri ganjang, asa ganjang umurmu mamboan goar panggoari ni pahompu i. Hata ni umpama ma dohonon nami :
“Tubu ma hariara, di atas ni tor na di ginjang, lehet ma i borotan ni horbo si opat pusoran. Mantak goar si jou jou on ma i, hipas jala mariang, goar na mura jouon, dirgak bohi mamboan.”
“Kakek/nenek: Di hamu Lae dohot ito. Dibagasan sa darion ditonga ni jabu na marsangap na martua on, ima jabu sigomgom pangisi na on marlas ni roha hita, ala nunga jumpang na ni luluan, tarida na jinalahan. Mulai sadari on mampe goar do hamu Lae, Ito, mar Ompuni… ala marbonsir sian goar ni pahompunta na ta pungka sadari on. Hupasahat hami ma tu hamu ulos ragi-idup songon patuduhon balga ni roha nami. Hata ni umpama dohenan nami di hamu:
Andor hadumpang ma togu togu ni lombu, Saur matua ma hamu Lae Ito, mambo an goar i huhut mangiring-iring pahompu.
Begitulah antara lain tata caranya dan mengenai pepatah petitih biasanya terdiri dari 3 buah.
II. PADA WAKTU PERKAWINAN
Dalam upacara perkawinan maka pihak hula hula harus menyediakan ulos si tot ni pansa yaitu:
- Ulos marjabu (hela dohot boru).
- Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki.
- Ulos pamarai diberikan kepada Saudara yang lebih tua dari Pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah.
- Ulos Simolohon diberikan kepada iboto pengantin laki-laki atau bila belum ada yang menikah kepada iboto ayahnya.
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru di ampuan hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita lihat banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut ragi ragi ni sinamot. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama Batak disebut:
“malo manapol - ingkon mananggal”
Umpasa ini mengandung pengertian orang Batak itu tidak mati terutang Adat. Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima golo goli dari ragi ragi ni sinamot. Ini berakibat timbulnya kedudukan yang tidak sepatutnya (mar goli-goli) sehingga yang pantas dapat digantikan oleh undangan umum (ale-ale). Dengan dalih istilah ulos holong memberikan pula ulos kepada Pengantin. Padahal istilah ulos holong adalah di luar versi Dalihan Natolu.
Binanga ni Sihombing ma, binongkak di Tarabunga, Tu sanggar ma amporik, tu lubang ma satua, sai sinur ma na pinahan, gabe na ni u1a.
Setelah diulosi kemudian dijemput sedikit beras (boras si pir ni tondi) ditaburkan baik kepada umum dengan mengucapkan “HORAS” tiga ka1i.
Kemudian menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki (wakilnya). Umpasa berikut sering disampaikan seiring dengan pemberian ulos :
“Jongjong do hami dison lae, ito, pasahathon sada u1os na margoar ulos pansamot tu hamu siala naung hujalo hami sinamotmu, marbonsir diulaonta sada rion. Jala laos on ma ito, lae ulos pargomgom asa mu1ai sadarion, gomgomonmu ma anakmu dohot parumaen mu”.
Songon nidok ni umpasa ma :
“manginsir ma sidohar, di uma ni Palipi, tu deak nama hamu marpinompar, jala bagasmu sitorop pangisi. Andor hudumpang ma togu togu ni lombu, sai saur matua ma hamu, Lae-ito, huhut mangiring iring pahompu.
Songon panutup ito :
Sahat sahat ni solu ma sahat tu bontean, nunga saut maksud dohot tahinta, sai sahat ma tu parhorasan, sahat panggabean.
Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos (si tot ni pansa) kepada pamarai dan simolohon. pemberian ulos ini biasanya diwakilkan kepada suhut paidua. Setelah ulos ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang laki-laki disebut ulos panggabei. Ini dilaksanakan setelah acara pemberian “tintin marangkup”.
III. ULOS PADA UPACARA KEMATIAN
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan pada seseorang ialah ulos yang diterimanya pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat kematian seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya. Jika seorang mati muda (mate hadiaranna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut ulos “parolang olangan dan biasanya dari jenis parompa. Bila seorang meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberikan ulos saput dan yang tinggal (balu, janda) diberikan ulos tujung. Sedang bila orang mati sari/saur matua maka kepadanya diberikan ulos “panggabei”.
Khusus tentang ulos Saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak Tulang sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan berenya. Sedang ulos tujung diberikan oleh pihak Hula-Hula. Ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah. Tata Cara Pemberiannya :
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga), maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga maka setelah hula hula mendapat/mendengar kabar tentang ini, maka disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak Tulang menyediakan ulos saput.
Pada waktu pemberian saput dari Tulang:
“Dison bere hupasahat hami dope sada ulos tu songon saput ni dagingmu, ulos parpudi laho mnopot sambulom. Songon tanda do on na dohot hami mar habot ni roha di halalaom. Pabulus roham, topot ma ingananmu rap dohot Tuhanta patulus pardalanmu”.
Kemudian pihak Hula Hula memberikan tujung:
“Sadarion (ito, hela) pasahaton nami do tuho ulos tujung. Beha bahenon (ito, hela), nunga songoni huroha bagianmu, marbahir siubeonmu, sambor nipim mabalu ho. Alani i unduk ma panailim marnida halak, patoru ma dirim marningot Tuhan. Songon nidok ni umpasama dohonon nami” :
Hotang binebe bebe, hotang pinulos-pulos, Unang iba mandele, ai godang do tudos-tudos.
Setelah beberapa hari berselang maka dilanjutkan dengan acara mengungkap tujung yang dilakukan oleh pihak Hula Hula. Mengenai waktunya tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring, air bersih mencuci muka dari air putih satu gelas. Acara dibuat pada waktu pagi (parnangkok ni mata ni ari). Kata-kata ini mengiringi acara tersebut :
“Sadarion ungkapon nami ma tujung on sian simanjujungmu. Asa ungkap na ari matiur, ungkap silas ni roha tu hamu di joloanon, Husuapi ma (dainang/helangku) asa bolong sude ilu ilum, na mambahen golap panailim”.
“Sai bagot na ma dungdung ma tu pilo-pilo na marajar, sai mago ma na lungun tu joloanon, ro ma na jagar.
Dison muse nek sitio-tio inum (dainang, laengku) ma on, sai tio ma panggabean, tio parhorasan di hamu tu joloan on. Huhut dison boras si pir ni tondi, sai pir ma nang tondim ;
Martantan ma baringin, marurat jabi jabi, horas ma tondi madingin, tumpakon ni Mulajadi.
Beras kemudian dijemput lalu ditaburkan di atas kepala sebanyak tiga kali. Biasanya seluruh anak yang ditinggal si mati dicuci mukanya dan ditaburkan beras di atas kepalanya.
Dahulu kepada si pemberi ulos biasanya diberikan piso piso sebagai panggarar adat. Sekarang ini seringdiganti dengan uang.
MEMBERI ULOS PANGGABEI
Bila seorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula hula akan memberi ulos yang disebut ulos panggabei. Dan biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu dan cicit).
Kata kata berikut mengiringi pemberian ulos tersebut :
“Di hamu pomparan ni Lae nami (Amang boru) on. Di son hupasahat hami tu hamu, sada ulos panggabei. Ulos on ulos panggabei, Sai mangulosi panggabean ma on, mangulosi parhorason, mangulosi daging do hot tondimu hamu sude pomparan ni Lae (amang boru) on. Horas ma dihita sude …”
Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula hula mulai dari hula hula, bona tulang, bona niari dan seluruh hula hula anaknya maupun hula hula cucunya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini memakan waktu yang sangat lama dan biaya yang cukup besar.
(oleh: rpurba.blogspot.com)
0 komentar