Peluang Menjadi Raja Sisingamangaraja XIII Masih Terbuka
Peluang untuk menjadi Raja Sisingamangaraja XIII, penguasa tanah Batak, Sumut, masih tetap terbuka setelah puluhan tahun mengalami kekosongan. Raja Sisingamangaraja XII tewas tertembak dalam pertempuran melawan tentara kolonial Belanda di Dairi pada awal abad XX. Pahlawan legendaris dari Toba itu tanpa sengaja melanggar pantangannya sendiri, kepercikan darah anak perempuan nya, Lopian, yang tertembak pasukan marsose Belanda, pimpinan Kapten Christoffel. Lopian, anak kesayangan baginda, merupakan srikandi yang terus mendampingi ayahnya bertempur melawan Belanda. Kapten Christoffel menyerukan pada baginda untuk menyerah, tapi Sisingamangaraja memilih untuk mati. Lopian, gadis remaja yang pemberani itu ternyata hanya mendapat luika ringan. Tapi pasukan marsose bertindak keji. Setelah tertawan, gadis yang gagah berani itu kemudian dibunuh dan mayatnya dilemparkan ke Sungai Pancinoran di kaki gunung Batu Gajah. Sejak peristiwa tragis itu posisi Raja Sisingamangaraja tidak pernah terisi lagi.
Jhoni Sinambela, salah seorang tokoh Batak yang satu marga dengan Sisingamangaraja ketika dihubungi ANTARA baru-baru ini mengisyaratkan, untuk ditabalkan menjadi Raja Sisingamangaraja XIII bukanlah kerja yang gampang. Para pengikut tokoh legendaris itu menuntut ciri-ciri khusus yang menjadi tanda khas bagi pemangku jabatan penguasa tanah Batak tersebut. “Ciri khas itu berupa lidah berbulu,” katanya sambil menjulurkan lidahnya. Menurut dia, jika ciri khas itu tidak ada, jangan mimpi bakal jadi penguasa tanah Batak.
Secara tersembunyi banyak oknum yang ingin kedudukan yang bergengsi itu, walau pun harus membayar mahal. Namun tanpa ciri khas adalah mustahil untuk dapat meraihnya. Djohan Samosir yang berasal dari Tanjung Balai dan pernah bergaul dengan para pengikut Raja Sisingamangaraja, ketika dihubungi secara terpisah mengungkapkan, banyak pengikut Sisingamangaraja yang bermukim di sekitar kawasan air terjun Sampuran Harimau di Kabupaten Toba Samosir. Rumah-rumah pemukiman mereka ditandai dengan semacam pengibaran bendera putih. Air terjun itu sendiri sudah puluhan tahun terakhir ini lenyap karena dimanfaatkan untuk PLTA Asahan. Tenaga listrik dari PLTA ini sebagian besar dimanfaatkan untuk pabrik peleburan aluminium PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) di Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan.
Baik Sinambela mau pun Samosir tidak mempersoalkan angka 13 yang oleh segelintir orang dianggap sebagai angka sial. “Hal itu tidak betul, karena untuk pelanjut generasi, nomor urut itu tetap berlaku. Angka sial itu hanya penilaian segelintir orang saja,” kata Sinambela sambil mengembangkan kelima jari tangannya dan menggoyang-goyangkan tangannya ke kiri dan kanan. Samosir mengungkapkan, jika angka 13 itu sial, bagaimana dengan bayi yang lahir pada tanggal 13. Ia geleng-geleng kepala sebagai pernyataan tidak setuju mengenai pandangan yang menyimpang itu.
Berdasarkan cerita-cerita sejarah, Raja Diraja Tanah Batak yang bergelar Sisingamangaraja sebelum jatuh ke tangan marga Sinambela, terlebih dulu untuk satu generasi di tangan seorang bermarga Simanulang. Sedangkan sebelumnya untuk 8 generasi berada di tangan garis lurus dari Tuan Serba Dibanua, Sori Mangaraja dan seterusnya. Untuk masa sebelumnya di zaman yang silam, tidak diketahui sama sekali. Nama Sisingamangaraja punya makna tersendiri. “Si” bukan sama nilainya dengan si polan, si anu tapi berarti poros, pusat atau inti. “Singa” juga bukan binatang buas asal Afrika, namun berarti konstruksi, kerangka atau bagan. “Manga” berarti maha, agung atau besar. Sedangkan makna “Raja” yakni kemampuan dan kewibawaan. Jadi Sisingamangaraja berarti,” Tampuk kewibawaan agung dari konstruksi tata peradatan TanahBatak”.
Raja Sisingamangaraja sendiri bukanlah orang Batak yang utuh. Ayahnya Ompu Raja Bona Ni Onan beristerikan adik Raja Uti Mutiraja, penguasa yang bersinggasana di Lambri, Aceh. Adik raja Aceh ini kemudian disapa dengan Si Boru Pasaribu. Ini bermakna diporoskan ke dalam marga Pasaribu. Sebaliknya ibu kandung Raja Uti ini berdasarkan cerita-cerita yang masih perlu ditelusuri kebenarannya adalah bangsawan Jawa yang diprakirakan kerabat dari pendiri Kerajaan Majapahit.
Dari perkawinan Ompu Raja dengan adik Raja Aceh ini lahirlah Raja Mahuta yang kemudian menjadi Raja Sisingamangaraja I. Berdasarkan tarombo (silsilah) ini, Raja Aceh mengakui kekuasaan Raja Sisingamangaraja yang untuk pertama kali menggunakan angka Romawi sampai ke-XII Bukti dari pengakuan ini, Tanah Batak tidak pernah diperangi pasukan Aceh dan bahkan keduanya bersatu dalam perang menghadapi musuh bersama. Tanda keakraban ini ditandai dengan diserahkan cap Sisingamangaraja yang satu bersiku 12 dan satu lagi bersiku 11 dari Raja Aceh. Cap itu bertuliskan huruf Batak di tengah dan huruf Arab di sekelilingnya.
Peluang untuk menjadi Sisingamangaraja XIII masih tetap terbuka bagi siapa saja terutama warga Batak. Akan tetapi ciri khas berupa “lidah berbulu”, kemungkinan hanya turunan Sisingamangaraja yang memiliki keunggulan tersebut. Sedangkan “piso gajah dompak” yang menjadi senjata baginda, pada masa lalu hanya baginda yang dianggap keramat yang mampu mencabutnya. Tapi kini banyak orang yang mampu mengakalinya hingga tercabut. (Ramothu SD)
0leh: www.antarasumut.com
Puppetmaster Nokia 6600
9 tahun yang lalu
0 komentar